Tawuran; Suara Hati Seorang Mahasiswa  

Dengan nada marah dan sedikit harapan. Tawuran yang baru saja terjadi telah membakar trauma dalam darahnya. Memaksa dia untuk mengangkat senjata. Dia berusaha menceritakan trauma masa lalunya, saya mencoba menuliskannya.

Penggalan kalimat di atas berusaha mengawali tulisan ini. Saat Dia yang tidak mau disebutkan namanya bercerita perihal perasaannya. Setelah siangnya, pukul 13.30 Wita tawuran kembali pecah di kampus ini melibatkan ratusan mahasiswa dari Fakultas Teknik, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, serta Fakultas Hukum (Kompas 27/2).
Malapetaka ini bukanlah yang pertama kali di unhas. Namun pasca tawuran media pun sibuk memberitakan berapa jumlah korban luka-luka? Berapa kerugian materil? siapa pelakunya ? dan sanksi apa yang bakal dijatuhkan?. Esoknya tawuran pun mereda. Publik sibuk membaca headline media. Tanpa tahu ada korban lain dari dua pihak yang selalu bertikai.
Merujuk pada pengalaman di unhas, tawuran ini bukan berarti berakhir. Tepatnya istirahat saja. Sebab di waktu depan bibit tawuran akan tumbuh dengan datangnya generasi baru alias mahasiswa baru. Sementara korban yang sebenarnya lebih merasakan buah tawuran ketimbang mereka yang di Dropp Out (DO) dan mereka yang terbaring di rumah sakit, luput dari penglihatan media dan mereka yang berkonflik. Siapa mereka ? inilah korban lain dari mereka yang bertikai, dan mungkin tidak banyak orang yang melihat dan mau mendengarkan suara hati mereka.
Dia dan teman-temannya adalah mahasiswa yang punya harapan besar untuk bisa menimba ilmu dan pengetahuan di Unhas. Jauh-jauh datang dari pulau seberang dengan harapan bisa menuntut ilmu dengan baik di Unhas. Sesampainya di Unhas, mereka tak berdaya untuk mengembangkan potensi intelektual mereka akibat kondisi di Unhas. Mereka tidak bisa belajar dengan tenang, berkawan dan bertukar pengetahuan dengan mahasiswa dari fakultas lain. Mereka terlanjur terkungkung dalam tempurung fakultatif ataupun kelompok. Buah dari dogma sesat sang senior yang bernama arogansi.
Tentang Dia
Entah apa yang membuat dia mau menceritakan isi hatinya kepada saya. Meskipun saya tidak bisa berbuat banyak, saya mencoba menjadi pendengar yang baik saat itu. Dengan nada datar, dia mengaku sebagai korban kerusuhan suku, agama, dan ras (SARA) salah satu propinsi di ujung timur Indonesia. Tepatnya sepuluh tahun lalu. Dia melihat dan merasakan sendiri bagaimana keluarga dan teman-temannya dikejar oleh penduduk pribumi untuk ’maaf’ dibunuh. Hanya pakaian di badan, mereka berlari menuju pantai, teriakan bayi dan anak kecil yang kehilangan orang tuanya saling menyambut bersama terbakarnya rumah. Beruntung mereka bisa menemukan kapal nelayan saat itu, ketika naik di atas kapal saat itulah mereka menyaksikan kampung mereka menjadi merah. Api membakar setiap sudut rumah, langit cerah berubah gelap akibat asap tebal membumbung di udara. Tangisan dan air mata manusia di atas kapal tidak mampu menghentikan semua itu. Di atas kapal lanjutnya, mereka terombang-ambing berhari-hari di atas laut bersamaan datangnya musim badai laut timur. Menunggu bantuan dan pertolongan dengan kondisi tanpa makanan. Karena saat itu yang mereka bawa hanyalah nyawa untuk bertahan hidup. Lelaki banyak yang ingin berjihad dan mati saat konflik pecah, namun tanggung jawab terhadap anak dan keluarga lebih besar. Siapa yang bakal memberi makan anak mereka. Dan siapa yang bakal bertanggung jawab terhadap perempuan yang kehilangan suami nantinya. Mereka harus diselamatkan. Jujur dia berkata masih trauma dengan kejadian sepuluh tahun silam itu. Rumah dibakar, mata pencarian dirampas, utang belum dibayar, lanjutnya.
Saat sampai di tanah kelahirannya Makassar, ternyata kondisi itu dia dapati kembali terulang. Meski tempatnya berbeda. Malah lebih parah, sebab kondisi ini terjadi dalam institusi pendidikan yang katanya tempat mendidik. Oleh karena itu, segera upayakan menghilangkan sumber konflik di kampus ini. Agar tidak ada lagi generasi cerdas dambaan orang tua yang terbunuh pemikirannya akibat beban psikologis dari konflik yang tidak jelas namun masih mengakar dan terus bertumbuh ini. Bila kondisi ini tidak bisa berubah dan berakhir, dengan lantang dia berkata kepada saya; “ Saya sudah bosan lari dari konflik, saya menyesal tidak melawan saat dikejar di kampung orang. Maafkan saya jika saya terpaksa masuk dalam konflik dan ada mahasiswa tak berdosa yang terbunuh”. Dengan niat murni dia datang untuk menuntut ilmu di tanah kelahirannya. Namun tawuran barusan saja terjadi telah membakar trauma dalam darahnya. “Segera hentikan pertkaian ini. Agar tidak ada mahasiswa yang Terbunuh...!”, tegasnya.

Lingkungan
Resosoedarmo (1993) dalam bukunya pengantar ekologi menjelaskan; pada saat kebudayaan manusia masih sederhana, sebagian manusia berpendapat bahwa alam/lingkungan menentukan macam aktivitas manusia (Physis determinis). Namun seiring dengan berkembangnya kebudayaan manusia, manusia dapat mengubah dan menciptakan lingkungan hidupnya sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya (Possibelisme). Dan akhirnya, manusia berubah pandangan bahwa manusia lebih banyak pilihan kemungkinan-kemungkinan dalam mengelola dan menentukan lingkungannya (Probibelisme). Maka orang tidak lagi menganut pendapat Physis determinisme dan possiblisme, melainkan probibelisme.
Dari pemahaman di atas, dan melihat serta merasakan sendiri lingkungan di Unhas, secara potensial besar terjadinya aksi dan reaksi akibat keadaan suatu lingkungan. Istilah mahasiswa unhas; ’Gesekan’. Sebab saat masuk di Unhas, mereka mahasiswa baru entah sengaja atau tidak sengaja telah dipatri dalam otak mereka tentang kebencian pada fakultas ataupun jurusan lain. Mungkin tidak melalui ucapan verbal. Tapi teladan sebagian senior mengajarkan itu pada mereka. Seperti tawuran yang baru saja terjadi. Tanpa sadar mahasiswa baru diarahkan untuk menjadi santapan konflik yang entah siapa pelaku dan kapan akan berakhir punah. Yang ada hanyalah konflik beranak pinak. Parahnya konflik ini akan terbawa menjadi ”dendam” hingga ke luar kampus. Inilah buah konflik yang ditanam dalam kampus. Apakah ini pilihan yang baik ?. Tidak adakah kemungkinan-kemungkinan pilihan (Probibelisme) yang lebih baik dari ini ?. Lantas siapa yang mau bertanggung jawab untuk ini ? tidak hanya di dunia tapi juga di akherat kelak.

Ya Rabb semoga engkau mau mengampuni dosa orang yang menanam benih konflik yang hingga saat ini masih bertumbuh, tumbuh dan terus bertumbuh..!

Qabil menanggung dosa setiap manusia yang terbunuh dimuka bumi karena mengajarkan manusia pertama kali membunuh di muka bumi. Wahai engkau yang merasa Qabil, datanglah untuk meluruskan dan menyelesaikan konflik yang telah engkau tanam/ciptakan. Minta ampunlah di dunia sebelum hukum akhirat yang mengeksekusimu. Sudah berapa banyak korban yang engkau hasilkan ?. Setiap tahun saat penerimaan mahasiswa baru, itulah korbanmu !
Mahasiswa baru adalah anak-anak bangsa, anak dari sekian banyak orang tua yang menginginkan anak mereka dididik menjadi anak baik, pintar dan berguna di kampus ini. Memperbaiki kehidupan keluarga dan mengagungkan nama keluarga, bukan sebaliknya. Mahasiswa baru jangan lagi menjadi korban konflik yang tidak jelas arah dan tujuannya ini. Mari kita duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dan saling menghargai satu sama lain. Seperti ungkapan Martin Luther King; belajarlah menghargai orang lain jika kita ingin dihargai oleh orang lain. Lembaga boleh beda. Tapi niat dan tujuan kita masuk Unhas tentunya sama. Menuntut Ilmu. Jangan biarkan diri kita dan mereka mahasiswa baru menjadi kerdil akibat kondisi ini. Saudaraku, semoga kita dipertemukan di akherat kelak dalam keadaan bersaudara. Bukan dalam keadaan bermusuh-musuhan...
Mari bersama menyelesaikan konflik yang sebenarnya bukan konflik kita, tapi telah membuat kita menjadi korban tak berdaya. Mungkin ini adalah sebuah warisan, tapi sebagai insan terdidik sungguh naif bagi kita yang mau menerima ”warisan menyesatkan” ini di tengah modernitas jaman yang penuh persaingan. Sampai kapan kita berkonflik ? Apa yang menghalangi kita untuk saling merangkul ?. Toh akhirnya kita akan meninggalkan Unhas dan bertemu kembali di masyarakat. Membangun bangsa dan negeri yang kian terpuruk ini. Bencana alam di seantero negeri butuh solusi. Kelaparan di tengah masyarakat yang telah meminta korban jiwa, menanti untuk segera diselesaikan. Siapa yang akan menyelesaikan ini semua?. Siapa yang akan merawat dan menjaga negeri ini?. Jika kita sebagai saudara dan generasi muda yang bakal mewarisi dan memimpin negeri ini sibuk dengan tawuran. Jika terus begini, maaf saya harus berkata; Belanda, Jepang atau Inggris memang lebih pantas mengurus negeri ini. Peace..!

Yunus Muhammad
Mahasiswa perikanan unhas

2 komentar: to “ Tawuran; Suara Hati Seorang Mahasiswa

  • Anonim
    3 April 2008 pukul 16.25  

    TAWURAN antarmahasiswa rupanya telah mendarah daging bagi sebagian kaum intelektual bangsa ini. Tengoklah apa yang dilakukan oleh oknum mahasiswa Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar dan Universitas Sam Ratulangi Manado.

    Mereka justru terlibat baku hantam antaragen intelektual dalam bingkai kebanggaan satu almamater.Parahnya,kejadian ini bukanlah kejadian pertama yang terjadi,sudah banyak peristiwa serupa yang berkecamuk di sana. Pascareformasi tahun 1998,geliat eksistensial mahasiswa di negeri ini kerap kali abnormal,keluar dari jalur idealisme malah berlari ke arus pragmatisme. Mahasiswa kini justru lebih terjerembab dalam kesalahan berpikir akan eksistensinya sebagai mahasiswa itu sendiri.

    Kita sering kali lupa bahwa status mahasiswa adalah amanat orangtua,bahkan bangsa Indonesia yang sedang terpuruk ini. Tengoklah hasil rapid assessment yang telah dilakukan Depdiknas dan Bank Dunia pada 2001 lalu.Setidaknya,pada 2015 nanti jumlah manusia Indonesia yang dapat mengenyam pendidikan tinggi hanya sekitar 25% dari sekitar 254,2 juta jiwa masyarakat Indonesia. Dengan demikian, mahasiswa adalah kaum minoritas yang diharapkan memberikan perubahan di negeri yang kita cintai ini.

    Tawuran antarmahasiswa dalam satu almamater yang sering terjadi tentu menyingkirkan asa tentang peran perubahan kaum minoritas tersebut. Bagaimana mungkin mentransformasi pengetahuan dan perilaku intelektual jika mengurus emosi dalam dirinya saja tidak becus? Benar, masa mahasiswa adalah masa yang labil, di mana aras berpikir kerap tidak berpijak pada aras rasional yang konstruktif.Karena usia muda memang demikian adanya.

    Erick Erickson dalam bukunya Youth, Crisis and Identity berpendapat bahwa usia muda adalah tahapan pencarian jati diri yang sering luput bahkan meluputkan diri dari proteksi orangtua. Erickson juga berujar jika tahapan paling utama masa muda adalah ketika mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Jika kita tarik garis historis ke belakang, tahapan pencarian jati diri kaum intelektual inilah yang justru menjadi “amunisi” untuk bergeliat memajukan bangsa.Tengoklah bagaimana kaum muda angkatan 1928 dan 1945 riuh dalam kebersamaan untuk mengikat persatuan bangsa dalam asa memerdekakan Indonesia ini.

    Lihat juga angkatan 1945 dan 1966 yang begitu powerful menendang kekuasaan otoritarian rezim Orde Lama dan Orde Baru hingga kita dapat mengenyam hembusan angin reformasi seperti sekarang.

    Terkait peristiwa Makassar dan Manado beberapa hari lalu,setidaknya menjadi bukti embusan idealisme itu kian menjauh dari kehidupan generasi muda negeri ini.Patutlah kita prihatin melihat geliat mereka yang menyerahkan diri dalam kerangkeng emosi yang dekonstruktif. Masyarakat tidak membutuhkan tawuran,kekerasan,atau lainnya,justru mereka membutuhkan angin perubahan dari proses transformasi pengetahuan dan perilaku intelektual demi kemajuan bangsa ini. Dan, kita mahasiswa yang bertindak sebagai subjeknya!

  • Anonim
    8 April 2008 pukul 14.36  

    di unhas mahasiswa masuk rumah sakit karena tawuran, di UIN Alauddin mahasiswa meninggal di panah sesama mahasiswa. memilukan dan memalukan...malu donk jadi mahasiswa. harusnya jadi teladan masyarakat. malah jadi perusuh dan mengganggu kenyamanan masyarakat. matilah mahasiswa ...!