Sewa Pondokan Naik Terus !
Menjadi mahasiswa rantau memang memaksa kita harus mandiri; Mandi sendiri, makan sendiri, sampai mencari penginapan sendiri. Pokoknya serba sendiri-sendiri deh,,,. Tapi bukan berarti seorang mahasiswa yang mandiri berprilaku indvidualis. Karena hidup sendiri, seorang mahasiswa harus cermat dan berhemat mengarungi kehidupan kota tempat mencari ilmu dan pengetahuan. Sebut saja mencari pondokan, rumah kontrakan atau apalah namanya. Lahan kota yang makin sempit ditambah kehadiran ribuan mahasiswa dari daerah, membuat pemilik kontrakan berani menaikkan harga sewa kamar yang ukurannya 2x3 sampai 4x6 meter. Itupun diluar harga pemakaian listrik dan air.
Pengalaman saya, saat tahun 2002 harga pondokan di jalan Manuruki masih Rp. 450.000/tahun. Luasnya 2x3x3 m. (skala; panjang x lebar x tinggi). Namun jaraknya yang jauh dari kampus membuat lelah juga. Bolak-balik di tengah panas dan macetnya kota makassar. Akhirnya tahun 2003 saya memilih hijrah ke pondok Tohero di jl Perintis kemerdekaan 4 lorong 6. Luasnya 2x3x2 m. Pondokan milik orang Bulukumba ini harganya Rp. 750.000/tahun. Karena suasana yang menurut saya kurang akademis untuk manusia yang berprofesi sebagai mahasiswa (weits…), tahun 2004 saya pindah lagi ke lorong 4 di jalan Perintis kemerdekaan 4 Tamalanrea, Makassar tentunya. Pondok Nurul Huda. Pondokan milik orang Barru. Suasananya lebih baik dari pondokan saya sebelumnya. Harganya pun lebih murah Rp 100.000. Luas kamar 2x4x2 di Nurul Huda dipatok harga Rp. 650.000/tahun. Penghuninya ramah, rajin sholat n taat beribadah deh,,. Beragam suku dan asal daerah berkumpul dalam rumah yang memiliki 50-an kamar ini. Pria dan wanita dipisah. Tidak boleh bercampur. Namun, satu yang tidak sesuai bagi saya, karena pada tahun ini saya sudah mulai aktif di lembaga kemahasiswaan kampus. Jam 10 malam pintu pagar dan pintu pondok sudah ditutup alias dikunci. Yah.. masa tiap malam saya harus manjat pagar? atau nginap di luar. Rugi dong ! kamar yang saya sewa. Padahal kamar adalah tempat paling indah buat saya,,, TIDUR SAMPAI PUAS. Hehehehe...! pembayaran lampunya 20 – 30 ribu per bulannya. Tiba saat masa kontrakan saya habis, tahun 2005 saya mencoba masuk ke asrama mahasiswa unhas (Ramsis). Akhirnya saya diterima di RT 1 EFGH, Blok I H 212. kamarnya ‘Wiro Sableng’. Tapi, percaya.. orang yang ada di dalamnya jauh dari “Sableng”. Serius...!
Setahun saya menjalani hari-hari Ramsis bersama teman-teman. Suka duka dan kesan sulitnya hidup tanpa air dan mati lampu, sangat terasa selama tinggal di ramsis. Gedungnya memang megah, asri, dan tenang. Cocok untuk belajar dan kerja tugas. Namun sulitnya air, membuat harga sewa kamar yang ukurannya 4x2x3 ini mejadi murah. Rp 25.000/bulan atau sama dengan Rp 300.000/tahun. Murah, meriah, Sessa...(Susah). Disinilah saya merasakan, hidup yang sesungguhnya. Seperti yang dikatakan dalam filmnya grandvoyage; Air laut yang menguap ke langit dan jatuh menjadi hujan tidak terasa garamnya. Di Ramsis, asin dan pahitnya kehidupan adalah modal besar mengarungi hidup. Susah senang dibagi bersama. Aku Cinta RT Ini. Ramsis RT I EFGH. Kapan lagi kita mandi bertelanjang dada di bunker teman-temanku ???
Tahun 2006, Ramsis harus dikosongkan atas perintah Rektor. Alasannya rumah yang memiliki icon ”kultur kampus berawal dari sini” akan direnovasi. Akhirnya bulan 9 tahun 2006 saya pindah lagi ke pondok Harapan Jaya. Masih di seputar wilayah kekuasaannya Kecamatan Tamalanrea. Tepatnya di Jalan Politeknik Ujung Pandang. Luas kamar ukuran 2x3,5x2 dihargai Rp. 1.250.000/tahun. Apa boleh buat,,, daripada tidur di jalan. Disinilah saya sekarang menetap untuk jangka waktu yang belum ditentukan. Pondok Harapan Jaya. Harga untuk kamar saya masih mending. Untuk kamar seukuran yang sama, namun memiliki tambahan fasilitas WC/kamar mandi di dalamnya dinilai Rp. 1.750.000/tahun. Kapitalisme yang mengajarkan individualisme telah menggerogoti pola pikir pemilik pondokan di Tamalanrea. ”Maaf Pak Aji”.
Saking ingin mendapatkan keuntungan, pemilik pondokan tidak memberikan public space (ruang tamu) bagi penghuninya. Jadinya jika anda kedatangan 2-3 orang teman di kamar, tidak ada lagi tempat untuk tidur. Karena dengan kamar seukuran kamar saya sekarang, maksimal 2 orang lah. Kalo ingin tenang berada di dalam kamar. Selain itu, akibat tidak ada tempat kumpul, jadinya penghuninya mulai berpikiran individualis. Sesama pondokan terkadang tidak saling mengenal. Tapi inilah realitas kehidupan kota makassar yang penuh dengan kesibukan serta kepentingan masing individunya. Saya dan anda harus siap menghadapinya.
Oh iya,, kebetulan sekitar 4 bulan tinggal menetap di Harapan Jaya, di samping pondokan saya dibangun lagi pondokan baru. Pemiliknya pegawai PT Freeport. Pondok hijau bernama Amole ini mematok harga Rp 2,5 juta – Rp 4 juta/tahun. Wah.. mahasiswa yang tinggal di sini pasti minimal anak camat, anak kepala dinas atau pengusaha kaya dari daerah.
Dari catatan perjalanan saya gonta ganti pondokan dan bertemu dengan berbagai karakter sikap dan prilaku, lewat tulisan ini saya hanya ingin menyimpulkan nilai harga kontrakan yang tiap tahun naik:
tahun 2002: Rp. 300 ribu – 500 ribu
tahun 2003: Rp. 500 ribu – 750 ribu.
tahun 2004: Rp. 750 ribu – 1 juta.
tahun 2005: Rp. 1 juta – 1,25 juta
tahun 2006: Rp. 1,25 juta – 1,75 juta
tahun 2007; Rp. 1,75 juta- 2 juta
tahun 2008; Rp. 2 – 4 juta.
Harga di atas belum termasuk tarif listrik dan biaya penggunaan air. Tahun 2009 kira-kira berapa yah. So buat anda yang baru mau memilih kontrakan, bisa berpikir hemat. Carilah pondokan dengan harga yang pas menurut kantong anda. Namun pas juga buat anda menetap, belajar dan bergaul tentunya.