Jiwa Mahasiswa Yang Terbelah  

Bicara soal mahasiswa memang tak ada habisnya. Dinamika kemahasiswaan dan beragam idealisme yang mereka pegang membuat aura tersendiri dalam dunia kampus. Semangat Spartan begitu tampak saat mereka berorasi meneriakkan kebenaran. Pokoknya semua yang ada di hadapan mereka harus taat dan patuh terhadap bahasa kebenaran yang mereka ungkapkan.
Hingga suatu waktu, dari mahasiswa sendiri muncul teriakan kekecewaan terhadap labelnya. “Mahasiswa Tai Kucing”, begitulah kira-kira terdengar. Untuk yang kedua kalinya aku mendengar ungkapan itu ternyata telah menjadi sebuah karya sastra berbentuk puisi. Judulnya; Mahasiswa Tai Kucing.
Puisi itu memang sakit dan sadis. Label Social Control, pejuang reformasi serta agen perubahan yang selama ini disandang mahasiswa seakan tenggelam dengan kerasnya puisi itu diperdengarkan. Mahasiswa menurut pembuat puisi telah terperangkap dalam dunia pragmatis, hedonis, dan terjerumus dalam dunia cinta yang menyesatkan perjuangan mereka. Sehingga tidak jarang perjuangan mahasiswa kini sifatnya spontan dan reaktif, tanpa dasar teori sosial dan visi yang memadai untuk mensejahterakan rakyat. Begitu banyak isu kerakyatan yang lewat tanpa aksi nyata dari insan intelek yang bernama mahasiswa. Mereka diam dan nyaman berada dalam kampus. Seperti kata Plato; ”akan ada suatu masa dimana manusia akan berada dalam kondisi yang nyaman (comfort zone) sehingga tidak bisa melihat kondisi di luar lingkungan mereka”. Yang ada hanyalah sifat anti pati tanpa sadar bahwa ada kekuatan besar yang siap menghancurkan mereka. Kondisi inilah yang disebut sebagai ‘goa plato’. Bak katak dalam tempurung, mahasiswa telah terbuai dengan kondisi kampus. Teori-teori tekstual yang mereka peroleh nyatanya belum mampu dipertemukan dengan realitas sosial di masyarakat. Yang ada hanyalah gerakan elitis dan bukan kebutuhan lapisan masyarakat bawah.
Cinta yang mereka pahami adalah cinta Caesar terhadap Cleopatra. Sebuah cinta yang membuat Roma terancam perang saudara. Kecintaan mereka terhadap rakyat adalah cinta semu yang sifatnya jangka pendek. Tidak ada lagi konsistensi perjuangan jangka panjang. Idealisme tercabik-cabik oleh derasnya kepentingan kelompok. Sehingga tidak salah jika ada istilah; idealisme begitu indah dikala kita masih muda. Dan akan menjadi kenangan saat kita berkumpul untuk bernostalgia. Semua idealisme masa muda menjadi semu saat mendapati hari tua. Meski dalam perjalanannya masih ada juga pribadi yang mati karena idealisme yang mereka pegang dan yakini. Namun, itu tak seberapa jumlahnya. Sosok Socrates tidak ditemukan lagi dalam jiwa mahasiswa. Kesederhanaan Nabi Muhammad SAW tidak lagi tercermin dalam keseharian mahasiswa. Sosok santun tokoh intelektual Nurcholis Madjid tidak lagi tampak pada prilaku mahasiswa. Mengapa hal itu terjadi ?

Split Personality
Belakangan ini, perseteruan kalangan mahasiswa Unhas menarik untuk disimak. Satu sisi menginginkan Lema Unhas dipertahankan. Namun di lain pihak secara tegas menghendaki agar lembaga yang baru dibentuk itu segera dibubarkan.
Melihat ini, saya ingin mencoba membaca lewat kacamata psikologis. Menurut ilmu psikologi, dalam diri manusia memiliki dual personality (kepribadian ganda). Ada kepribadian buruk dan ada pula kepribadian yang jahat. Pribadi yang baik adalah pribadi yang dapat menekan sifat-sifatnya yang buruk dan tidak menonjolkannya ke luar. Begitupula sebaliknya.
Kalau kita amati, setiap orang memiliki kecendrungan untuk membela diri pada saat dirinya dikritik. Tapi tidak bila dirinya itu dikritik oleh dirinya sendiri. Memarahi diri sendiri itu baik untuk menekan hal-hal negatif sehingga mampu merubah kepribadiannya ke arah yang lebih baik.
Pada kasus kepemimpinan kemahasiswaan saat ini, menurut hemat penulis; pribadi para pemimpinnya sedang mengalami Split Personality ( Jiwa Yang terbelah). Satu sisi mereka mengkritik lembaga yang mereka pimpin, tapi di sisi lain mereka berada dalam sistem kelembagaan itu. Sehingga jiwa mereka bergejolak karena tidak kuasa menerima apa yang diharapkan dengan kondisi realitas di lapangan.
Masuk ke perdebatan apakah Lema Unhas dibubarkan atau tetap dipertahankan, sama halnya ketika kita keliru memilih berobat ke Psikiater atau Psikolog. Dalam praktiknya, psikolog dilarang memberi obat karena jurusannya memang tidak satu trayek dengan psikiater. Psikolog cuma memandang pantai, psikiater terjun ke laut. Pasien psikolog umumnya waras, dan terapinya tak memerlukan obat. Psikolog bisa diajak kerja sama dengan ekonom, politisi, sosiolog dan lainnya. Sementara psikitaer, jarang yang mau mengajak kerja bareng dengan psikiater, boleh jadi lantaran kerja sama dengan psikiater dianggap berisiko takut bisa menular. Tertular schizophrenia. Bila kita menganggap Lema Unhas adalah pasien, silahkan pelajari lebih detil permasalahannya. Jangan sampai kita bingung apakah pasien kita mau dibawa ke psikiater atau psikolog ?. dibubarkan atau dipertahankan, silahkan memilih yang lebih baik..!
Tulisan ini pernah dimuat di kolom bias PK Identitas Unhas

Read More...

Mengenang Ramsis Unhas  

Ramsis Unhas RT I EFGH " Kultur Kampus Ada Disini"

Asrama mahasiswa RT I EFGH telah melahirkan banyak sarjana. Suka dan duka kehidupan mahasiswa dalam asrama tidak akan hilang dan akan menjadi sejarah tersendiri bagi mereka mahasiswa unhas yang pernah menetap dan mersakan pahit getirnya hidup di Ramsis. ”Kultur Kampus dimulai dari sini”, adalah slogan dan cita-cita luhur itu hilang bersamaan direnovasinya Ramsis di penghujung tahun 2006. Berikut sejarah Ramsis RT I EFGH. Semoga menjadi renungan dan nostalgia bagi saya dan anda sekalian yang pernah tinggal di RT I EFGH. ” Aku Cinta RT Ini !!!..”
Tahun 1989 merupakan tahun satu bagi asrama mahasiswa universitas hasanuddin (Ramsis Unhas), karena pada tahun inilah untuk pertama kalinya ramsis dihuni. Istilah Ramsis dicetuskan Prof DR Anwar Arifin yang pada waktu itu menjabat sebagai direktur asrama mahasiswa yang pertama juga salah satu pendiri Ramsis. Saat itu, hanya enam blok yang dihuni, yakni unit 1 (untuk putra) blok A,B,G,H. Sedang unit III (putri) hanya blok A dan B yang dihuni. Blok G dan H inilah yang nantinya akan berkembang menjadi RT I EFGH.
Pada awalnya warga blok G dan H ini banyak dihuni oleh mahasiswa program Pasca Sarjana, sehingga tidak heran jika pada saat itu roda penggerak untuk menciptakan kehidupan yang harmonis juga didominasi oleh mahasiswa program pasca sarjana. Sebut saja Godlief Ambrisus Gainau (Pak Bram), Sugiharto (Pak Yogi), Sakrani (Pak Roni) adalah beberapa nama yang turut ambil bagian dalam hal ini.
Dengan semakin bertambahnya jumlah mahasiswa yang berminat untuk tinggal di Ramsis, maka pada bulan maret 1990, Blok I E dan I F dibuka untuk dihuni. Untuk tingkat rumah tangga (RT) pada mulanya kepengurusan langsung ditangani oleh pengelola asrama. Format ini hanya berjalan selama dua periode saja (periode I diketuai oleh Rahman Adam dan periode II diketuai Syamsuddin Darra). Setelah terjadi pergolakan mengenai pengelolaan asrama tingkat RT dan berdasarkan Musyawarah Besar antara warga dengan pengelola, maka diputuskan bahwa tiap RT terdiri dari dua blok yang diketuai oleh satu orang dari pihak pengelola sedang wakilnya adalah warga asrama yang berada dalam RT itu. Walaupun demikian keadaan tetap berjalan kurang lancar karena sikap yang kurang aktif dari pengelola yang merupakan ketua RT. Tanggung tawabpun banyak dilimpahkan ke wakilnya.
Melihat kondisi yang semakin tidak kondusif, Kanda Agus Sugiarto (wakil ketua RT I EF) dan Dedi Karim (wakil ketua RT I GH) beserta kanda Ahmad Nur Harun Ar-Rasyd (wakil ketua Unit I) sepakat untuk menyatukan RT I EF dan RT I GH menjadi RT I EFGH. Pengelolaannya pun diambil alih baik interen maupun eksteren.
Dengan format kepengurusan yang baru ini, program-program asrama dapat berjalan lebih lancar. Sumbangan pemikiran dan partisipasi warga merupakan salah satu faktor yang paling mendukung jalannya roda kepengurusan. Banyak kegiatan positif tercipta seperti kerja sosial (kersos) yang dicetuskan sejak kepengurusan Kanda Jamaluddin AS Buamonabot. Kersos berlangsung hingga 14 kali dan dilaksanakan setiap tahun. Sampai pada akhirnya penghuni Ramsis RT I EFGH harus minggat dari rumah mereka karena direnovasi dibawah kepemimpinan Idrus A Paturusi sebagai Rektor Unhas.di tahun 2006. Sampai sekarang penghuni Ramsis terpecah-pecah dan tidak kembali lagi. Semangat ”kultur kampus” hilang bersama hilangnya para penghuni yang dulunya aktif sebagai warga di Ramsis RT I EFGH.
Mereka yang pernah memimpin Ramsis RT I EFGH; Rahman adam, Syamsuddin Darra, Syafaruddin, Ahmad Nur Harun, Agus Sugiarto, Jamaluddin AS Buamonabot, Kardiawan, Puguh, Tajuddin, Edymond, Ambong Intang, Amran SH, Muhammad Syukril, Ridwan Pramunto, Muhammad Syafril, Multazam, Wahyu (Tahun 2006).
Sumber : Buku PADAM ( Pengenalan Asrama dan Aktualisasi Mahasiswa 2004)
Bagi anda yang ingin bercerita lebih banyak tentang Ramsis silahkan ”Comment”

Read More...