UU No 27/2007
Sabtu, 19 April 2008
Suram, Masa Depan Nelayan Indonesia
Sektor perikanan memang unik, beberapa karakteristik yang ada di dalamnya tidak dimiliki sektor lain seperti pertanian dan pertambangan. Peliknya masalah kepemilikan (common property resources) menjadi salah satu sumber masalah di perairan laut. Belum lagi pengelolaan perikanan yang faktanya sampai saat ini belum juga menunjukkan kemampuannya dalam mensejahterakan nelayan.
Terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wlayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil patut diapreasiasi (UU PWP3K). Karena dari sini pemerintah akhirnya mulai sadar akan pentingnya perairan laut indonesia dikelola dan dimanfaatkan untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat indonesia. Lantas apa masalahnya ?
Salah satu ruh dari UU PWP3K adalah dilahirkannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Dalam Pasal 16 UU PWP3K dijelaskan bahwa pemanfaatan perairan pesisir meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut diberikan dalam bentuk HP3. Jangka waktu HP3 akan diberikan dengan mempertimbangkan karakteristik usaha dan waktu yang kondusif bagi tumbuhnya investasi. Jangka waktu pertama akan diberikan selama 20 tahun dan dapat diperpanjang lagi masing-masing 20 tahun (pasal 19).
Pasal berkenaan HP3 ini adalah cerminan keberpihakan pemerintah semata hanya kepada pemilik modal. Dan bukti bahwa pemerintah sudah tidak mampu menjamin dan melindungi ruang hidup dan penghidupan nelayan dengan memberikan hak pengelolaan pesisir dan laut kepada pemodal. HP3 juga akan meningkatkan konflik ruang dan perikanan, serta mempersempit bahkan menggusur nelayan dan masyarakat pesisir dari ruang hidup dan penghidupannya. Sebab dengan adanya sertifikat kepemilikan laut oleh swasta, pemodal akan berusaha meraup keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperdulikan kondisi nelayan kecil yang ada di pesisir. Nelayan kecil di sekitar wilayah yang telah disewakan akan dilarang beroperasi dengan alasan kepemilikan sertifikat HP3 oleh pemodal. Faktanya sebelum HP3 dikeluarkan saja, nelayan kecil yang ada di pulau selayar hingga saat ini sulit mengakses wilayah penangkapan ikan yang telah disewakan pemerintah daerah kepada orang jepang. Pembakaran kapal nelayan dari jawa tengah di perairan masalembo oleh nelayan dari Jawa Timur. Pelarangan pemasangan rumpon bagi nelayan di Sulawesi Barat oleh pengusaha yang telah mengkapling laut untuk kepentingan bisnisnya. Hilangnya mata pencaharian pembudidaya rumput laut di Bali akibat lahan pesisir yang telah disewakan untuk kepentingan pariwisata. Dan berbagai konflik horizontal antar nelayan di beberapa daerah lain. Jadi dengan adanya HP3, pemerintah justru akan menambah konflik antara nelayan dengan pemilik modal yang telah memiliki sertifikat HP3. Berkaca pada sektor-sektor lain yang berpotensi mendatangkan sumber ekonomi dan telah disewakan, kebanyakan pemerintah akan lebih melindungi para pengusaha yang telah menanamkan modalnya ketimbang masyarakat lokal. Sehingga HP3 akan menjadi mimpi buruk bagi nelayan lokal.
Belajar dari Ilegal Fishing Alur penangkapan ikan (who fish) mengalir dari negara asing ke Indonesia, namun alur siapa yang menikmati ikan (who eats fish) mengalir sebaliknya. Itulah gambaran kasus ilegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia. Akibat penangkapan ilegal ikan oleh kapal asing, Departemen kelautan dan Perikanan memperkirakan negara telah dirugikan 16,6 triliun rupiah akibat penangkapan ilegal di perairan Indonesia. Tidak hanya kerugian ekonomi, kedaulatan wilayah NKRI pun telah diobrak-abrik akibat banyaknya kapal asing yang masuk di perairan Indonesia.
Setelah tidak mampu melindungi batas laut indonesia, pemerintah lagi-lagi menerbitkan Kepmen No.6 tahun 2008 tentang izin penggunaan alat tangkap trawl. Keputusan yang jelas-jelas bertentangan dengan Keppres No,39 Tahun 1980 tentang pelarangan alat tangkap trawl di perairan Indonesia. Padahal tanpa diizinkan pun, selama ini di perairan Maluku dan Papua telah terjadi pengerukan sumber daya ikan oleh nelayan asing yang bersekongkol dengan nelayan lokal. Ikan ditangkap oleh nelayan lokal kemudian diekspor oleh nelayan asing. Jelas pihak yang diuntungkan dalam kasus ini adalah nelayan asing. Nelayan lokal pun dijadikan ”tumbal” bila ada penertiban kapal-kapal trawl oleh kapal patroli. Jangan sampai bangsa ini mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh beberapa negara di Afrika Barat. Karena tidak mampu mengendalikan maraknya ilegal fishing di laut lepasnya, pemerintah Afrika lantas memberikan hak pengelolaan kepada investor asing untuk mengelola pesisir pantainya dengan tujuan menambah devisa negara. Namun yang terjadi adalah masyarakatnya justru tetap terjerembab dalam kelaparan (malnutrisi). Sumberdaya perikanan pun tidak dapat dikendalikan akibat overfishing.
Saatnyalah nelayan Indonesia dijadikan aktor dan tuan di rumah sendiri. Pemerintah sebaiknya berupaya memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada masyarakat pesisir dalam hal pengelolaan laut. Hidupkan keorganisasian yang ada di pesisir menuju perikanan lestari. Jangan berharap masuknya investor untuk menghidupkan geliat ekonomi nelayan dan melegalkan ’perikanan yang merusak’. Sebab pemberian izin eksploitasi sumber daya laut lewat HP3 dan Kepmen No.6 tahun 2008 akan menyebabkan kepemilikan hasil pengerukan sumber daya laut kepada segelintir pengusaha saja. Meskipun hak yang diberikan hanya untuk pengusaha lokal, namun peluang investor asing untuk masuk atas nama nelayan lokal sangat besar. Alasannya adalah tidak banyak nelayan lokal yang memiliki modal besar. Ditambah lagi lemahnya pengawasan hukum di negeri ini. Oleh karena itu, pengusaha asing yang bermodal bisa dengan mudah masuk berinvestasi atas nama nelayan lokal.
Belajar dari kasus negara lain. Sebagai contoh di Papua New Guinea (PNG), perolehan ekspor dari satu kapal tuna domestik ternyata jauh melebihi pendapatan ekonomi yang diperoleh dari pemberian izin kepada 130 kapal asing. PNG pun berani memutuskan untuk menutup izin kapal asing yang sudah beroperasi selama 40 tahun. Karena ternyata izin pengusahaan oleh investor asing justru lebih banyak mudaratnya ketimbang keuntungannya.
Pemerintah harus berpikir cermat dan cepat dalam pengelolaan perikanan. Pencurian oleh kapal asing yang jelas sangat merugikan negara belum juga dapat diatasi. Jangan lagi menambah beban negara/rakyat dengan memberikan hak kepada pengusaha swasta untuk mengeruk hasil laut kita. Sebab dengan adanya izin operasi yang dilegalkan lewat HP3 dan Kepmen No.6 tahun 2008 jelas-jelas akan menghilangkan pendapatan negara yang seharusnya dinikmati oleh nelayan kita.
Alasan pemerintah bahwa Kepmen No.6 tahun 2008 hanya diterapkan di perairan kalimantan justru telah melegalkan ’perikanan yang merusak’. Sebab sebelum itu di perairan Nunukan, Bulungan, Tana Tidung, dan tarakan sudah beroperasi kapal trawl baik milik masyarakat lokal ataupun nelayan asing yang bebas berkeliaran. Untuk jangka menengah mungkin penghasilan nelayan dan pendapatan asli daerah akan bertambah seiring banyaknya kapal trawl yang beroperasi, namun untuk jangka panjang pemerintah harus siap menanggung beban besar akibat kerugian diakibatkan rusaknya lingkungan perairan yang ada di sana. Ujung-ujungnya ikan akan habis dan nelayan kembali ’menangis’. Meski sering melaut, hasil tangkapannya nihil. Yang ada hanyalah beban utang akibat mahalnya bahan bakar untuk melaut. Hutan kalimantan telah rusak akibat illegal logging, pantai hilang karena dikeruk pasir putihnya, minyak dan pertambangan di bumi Kalimantan telah lama dieksploitasi. Tidak cukupkah semua itu digunakan untuk mensejahterakan masyarakat di sana ?. Laut yang open acces adalah pemersatu nusantara, bukan pemisah akibat kebijakan salah urus lewat terbitnya HP3. Jangan biarkan di darat kita di jarah, di laut pun kita binasa.
Read More...