man on tree  







1 komentar: to “ man on tree

  • Anonim
    3 April 2008 pukul 16.23  

    TAWURAN antarmahasiswa rupanya telah mendarah daging bagi sebagian kaum intelektual bangsa ini. Tengoklah apa yang dilakukan oleh oknum mahasiswa Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar dan Universitas Sam Ratulangi Manado.

    Mereka justru terlibat baku hantam antaragen intelektual dalam bingkai kebanggaan satu almamater.Parahnya,kejadian ini bukanlah kejadian pertama yang terjadi,sudah banyak peristiwa serupa yang berkecamuk di sana. Pascareformasi tahun 1998,geliat eksistensial mahasiswa di negeri ini kerap kali abnormal,keluar dari jalur idealisme malah berlari ke arus pragmatisme. Mahasiswa kini justru lebih terjerembab dalam kesalahan berpikir akan eksistensinya sebagai mahasiswa itu sendiri.

    Kita sering kali lupa bahwa status mahasiswa adalah amanat orangtua,bahkan bangsa Indonesia yang sedang terpuruk ini. Tengoklah hasil rapid assessment yang telah dilakukan Depdiknas dan Bank Dunia pada 2001 lalu.Setidaknya,pada 2015 nanti jumlah manusia Indonesia yang dapat mengenyam pendidikan tinggi hanya sekitar 25% dari sekitar 254,2 juta jiwa masyarakat Indonesia. Dengan demikian, mahasiswa adalah kaum minoritas yang diharapkan memberikan perubahan di negeri yang kita cintai ini.

    Tawuran antarmahasiswa dalam satu almamater yang sering terjadi tentu menyingkirkan asa tentang peran perubahan kaum minoritas tersebut. Bagaimana mungkin mentransformasi pengetahuan dan perilaku intelektual jika mengurus emosi dalam dirinya saja tidak becus? Benar, masa mahasiswa adalah masa yang labil, di mana aras berpikir kerap tidak berpijak pada aras rasional yang konstruktif.Karena usia muda memang demikian adanya.

    Erick Erickson dalam bukunya Youth, Crisis and Identity berpendapat bahwa usia muda adalah tahapan pencarian jati diri yang sering luput bahkan meluputkan diri dari proteksi orangtua. Erickson juga berujar jika tahapan paling utama masa muda adalah ketika mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Jika kita tarik garis historis ke belakang, tahapan pencarian jati diri kaum intelektual inilah yang justru menjadi “amunisi” untuk bergeliat memajukan bangsa.Tengoklah bagaimana kaum muda angkatan 1928 dan 1945 riuh dalam kebersamaan untuk mengikat persatuan bangsa dalam asa memerdekakan Indonesia ini.

    Lihat juga angkatan 1945 dan 1966 yang begitu powerful menendang kekuasaan otoritarian rezim Orde Lama dan Orde Baru hingga kita dapat mengenyam hembusan angin reformasi seperti sekarang.

    Terkait peristiwa Makassar dan Manado beberapa hari lalu,setidaknya menjadi bukti embusan idealisme itu kian menjauh dari kehidupan generasi muda negeri ini.Patutlah kita prihatin melihat geliat mereka yang menyerahkan diri dalam kerangkeng emosi yang dekonstruktif. Masyarakat tidak membutuhkan tawuran,kekerasan,atau lainnya,justru mereka membutuhkan angin perubahan dari proses transformasi pengetahuan dan perilaku intelektual demi kemajuan bangsa ini. Dan, kita mahasiswa yang bertindak sebagai subjeknya!